Belajar Fiqih Mazhab Syafi’i: Perubahan Air yang Tidak Terlihat (Seri 5)

Perubahan Air yang Tidak Terlihat

Pada pembahasan sebelumnya telah kita ketahui bahwa jika air suci, baik itu sedikit atau banyak (dua kulah atau lebih) tercampuri benda suci lain dan mengalami perubahan yang banyak maka status air berubah menjadi tidak mensucikan meskipun dzatnya masih suci. 

Demikian pula jika air suci yang banyak tercampuri benda najis, jika mengalami perubahan meskipun sedikit maka status air berubah menjadi najis. Perubahan yang terjadi dalam dua kasus di atas bisa diketahui karena dzat yang mencampuri air mempunyai sifat yang berbeda dengan air. Lain halnya jika dzat yang mencampuri air mempunyai sifat yang sama dengan air sehingga perubahan tidak bisa diketahui dengan pancaindra, maka dalam keadaan ini perubahan tersebut kita andaikan (kira-kirakan). Sebagai contoh, jika ada Air Musta’mal jatuh mencampuri Air Mutlak, maka untuk mengetahui apakah terjadi perubahan, kita melakukan pengandaian.  

Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl al-Hadrami asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

وَالتَّغَيُّرُ التَّقْدِيرِيُّ كَالتَّغَيُّرِ الْحِسِّيِّ فَلَوْ وَقَعَ فِيْهِ مَاءُ وَرْدٍ لَا رَائِحَةَ لَهُ قُدِّرَ مُخَالِفًا لَهُ بِأَوْسَطِ الصِّفَاتِ

Perubahan secara perkiraan itu sebagaimana perubahan yang bisa diketahui dengan pancaindra (perubahan nyata). Jika ada air mawar yang telah hilang aroma wanginya mencampuri air, maka diandaikan (air mawar tersebut) dengan benda lain yang mempunyai sifat berbeda dengan sifat air dengan perbedaan yang sedang.” (al-Muqaddimah al-Hadramiyyah, hlm. 53)

Keadaan Air yang Tercampuri Benda Suci dan Najis yang Mempunyai Sifat yang Berbeda dengan Air

Dari keterangan di atas dapat kita katakan bahwa air ketika tercampuri benda najis atau benda suci, ada dua macam keadaan perubahan:

Keadaan pertama:

Perubahan yang bisa diketahui dengan menggunakan 3 anggota pancaindra. Perubahan warna diketahui dengan penglihatan, perubahan rasa diketahui dengan merasakan dengan lidah dan perubahan bau/aroma diketahui dengan penciuman.

Keadaan kedua:

Perubahan yang tidak bisa diketahui dengan 3 anggota pancaindra (penglihatan, penciuman, pengecap), perubahan ini bisa diketahui dengan memperkirakan. 

Ketika ada benda suci yang mempunyai sifat berbeda dengan dengan sifat air mencampuri Air Mutlak, baik Air Mutlak tersebut sedikit (kurang dari dua kulah) atau banyak (dua kulah atau lebih) atau ada najis yang mempunyai sifat berbeda dengan sifat air mencampuri Air Mutlak dua kulah atau lebih, maka status air tergantung pada berubah atau tidaknya air tersebut. Perubahan di sini bisa diindra dikarenakan benda tersebut mempunya sifat yang berbeda dengan air. Sifat yang dimaksud adalah warna, bau, dan rasa. 

Contoh benda suci yang mempunyai sifat berbeda dengan sifat air di antaranya sabun, teh, deterjen, dan yang lainnya. 

Adapun contoh benda najis yang mempunyai sifat berbeda dengan sifat air diantaranya bangkai, kotoran hewan, kotoran berak, dan yang lainnya. Benda-benda ini mempunyai sifat yaitu warna, rasa, dan bau yang berbeda dengan sifat air sehingga ketika benda-benda tersebut mencampuri air maka bisa terlihat apakah air mengalami perubahan atau tidak. 

Kita bisa katakan bahwa mayoritas benda suci dan benda najis mempunyai sifat yang berbeda dengan sifat air, hanya sedikit sekali yang mempunyai sifat sama dengan sifat air.

Keadaan Air yang Tercampuri Benda yang Mempunyai Sifat yang Sama dengan Air

Adapun jika yang mencampuri air tersebut adalah benda yang mempunyai sifat yang sama dengan sifat air, maka perubahan tidak bisa diketahui meskipun hakekatnya mengalami perubahan.

Sebagai contoh adalah Air Musta’mal yang semua sifatnya yaitu warna, bau, dan rasa sama dengan sifat Air Mutlak. Dalam kasus seperti ini maka Air Musta’mal tersebut kita andaikan sebagai benda lain yang mempunyai sifat berbeda dengan sifat air dengan tingkat perbedaan yang sedang (pertengahan). 

Para ulama memberikan contoh benda yang sifatnya berbeda dengan sifat air dengan perbedaan yang sedang sebagai berikut:

  1. Jus anggur untuk mengandaikan perubahan warna. 
  2. Perasan air buah delima untuk mengandaikan perubahan rasa.
  3. Luban dzakar (kemenyan arab) untuk mengandaikan perubahan bau.

Sebagai contoh, jika ada air satu ember (kurang dua kulah) kemasukan Air Musta’mal beberapa tetes sisa dari air wudhu basuhan pertama (karena bekas basuhan kedua dan ketiga tidak termasuk Air Musta’mal):

Langkah pertama untuk memperkirakan perubahan warna:

Maka langkah pertama kita andaikan tetesan-tetesan Air Musta’mal tersebut adalah air jus anggur, jika merubah warna air maka air tersebut hilang sifat thohurnya, yaitu tidak bisa mensucikan lagi dan tidak bisa dinamakan Air Mutlak lagi.

Langkah kedua untuk memperkirakan perubahan rasa:

Namun jika warna tidak berubah, langkah selanjutnya kita andaikan dengan rasa delima (air perasan buah delima), jika merubah rasa air, maka air tersebut hilang sifat thohurnya. 

Langkah ketiga untuk memperkirakan perubahan bau:

Namun jika tidak berubah maka kita andaikan dengan luban dzakar (kemenyan arab). Jika bau air berubah, maka air tersebut hilang sifat thohurnya, yaitu tidak bisa mensucikan. Akan tetapi jika tidak berubah maka air tersebut tetap dalam keadaan suci dan mensucikakan dan masih disebut Air Mutlak dikarenakan hasil pengandaian tersebut tidak merubah tiga sifat air.

Contoh lain sebagaimana yang disebutkan oleh penulis al-Muqaddimah al-Hadramiyyah, yaitu air bunga mawar yang telah hilang baunya sehingga sifat bau tersebut sama dengan bau air, namun untuk warna dan rasa berbeda dengan warna dan rasa air. Dalam kasus ini yang  kita andaikan adalah sifat bau saja yaitu kita andaikan dengan luban dzakar. Namun jika seandainya tiga sifat pada air mawar hilang semuanya sehingga rasa, bau, dan warna tidak ada bedanya dengan air mutlak, maka kita andaikan dan perkirakan perubahannya dengan tiga benda yang masing-masing mewakili sifat rasa, warna dan bau sebagaimana keterangan di atas.

al-‘Allamah Zaenuddin al-Malibari mengatakan,

وَهَذَا إِذَا فُقِدَتِ الصِّفَاتُ کُلُّهَا، فَإِنْ فُقِدَ بَعْضُهَا وَوُجِدَ بَعْضُهَا قُدِّرَ المَفْقُودُ، لِأَنَّ المَوْجُوْدَ إِذَا لَمْ يُغَيِّرْ فَلَا مَعْنَی لِغَرْضِهِ

“Hal ini (pengandaian dengan tiga benda) jika yang hilang semua sifatnya (sehingga warna, bau dan rasa benda yang mencampuri sama dengan warna, bau dan rasa air), namun jika yang hilang hanya sebagian sifatnya (sehingga sifatnya sama dengan sifat air) dan masih ada sifat yang lain, maka yang diandaikan hanya sifat yang hilang saja. Hal ini karena jika sifat yang masih ada tersebut (yang berbeda dengan sifat air) tidak merubah air maka tidak ada fungsinya pengandaian (karena air sudah nampak tidak berubah).” (I’anatut Thalibin I/54)

Ketentuan di atas yaitu pengandaian dengan benda yang mempunyai sifat yang berbeda dengan sifat air (dengan tingkat perbedaan yang sedang atau pertengahan), berlaku untuk benda suci yang mencampuri air yang ukuran air tersebut kurang dua kulah atau mencapai dua kulah, kecuali Air Musta’mal. 

Khusus untuk Air Musta’mal maka pengandaian hanya untuk air yang kurang dari dua kulah dikarenakan tidak ada Air Musta’mal pada air dua kulah atau lebih. Sebagai contoh, jika air sisa wudhu basuhan pertama atau sisa mandi basuhan pertama masuk ke air yang ukurannya kurang dari dua kulah, maka kita lakukan pengandaian tersebut. Namun jika air yang dimasuki ukurannya mencapai dua kulah atau lebih, maka tidak perlu ada pengandaian karena jika air telah mencapai dua kulah tidak bisa menjadi musta’mal.

Adapun jika benda yang mempunyai sifat sama dengan air adalah benda najis, maka benda yang dijadikan pengandaian adalah benda yang mempunyai sifat berbeda dengan air dengan perbedaan yang mencolok. Para ulama memberikan contoh sebagai berikut:

1. Cuka, untuk mengandaikan perubahan rasa.
2. Tinta, untuk mengandaikan perubahan warna.
3. Minyak misik, untuk mengandaikan perubahan bau.

Sebagai contoh jika ada air kencing yang rasa, warna, dan baunya sama dengan air jatuh mencampuri air, maka air kencing tersebut kita andaikan dengan cuka, tinta, dan minyak misik serta kita lakukan pengandaian sebagaimana pengandaian pada benda suci yang mencampuri air.

Ketentuan pengandaian untuk benda najis ini hanya berlaku pada air dua kulah atau lebih dikarenakan untuk air yang kurang dari dua kulah, semata-mata tercampur dengan benda najis hukumnya menjadi najis meskipun tidak mengalami perubahan.

Pengandaian ini baik untuk benda suci ataupun benda najis hukumnya mustahab (walaupun ada yang berpendapat hukumnya wajib untuk benda najis). Jika tidak melakukan pengandaian, thaharah tetap sah dengan air yang kemasukan benda suci atau najis yang sifat-sifatnya sama dengan sifat-sifat air.

وَاعْلَمْ أَنَّ التَّقْدِيْرَ المَذْکُورَ مَنْدُوبٌ لَا وَاجِبٌ، فَلَوْ هَجَمَ شَخْصٌ وَاسْتَعْمَلَ المَاءَ أَجْزَأَهُ ذَالِكَ

“Ketahuilah, pengandaian yang telah disebutkan tersebut hukumnya mustahab, dan tidaklah wajib. Seandainya seseorang langsung menggunakan air tersebut  (tanpa pengandaian) niscaya sudah mencukupi (sah thaharahnya)” (Hasyiah as-Syarqawi I/35 & I’anatut Thalibin I/55)

Hal ini karena dampak maksimal jika tidak melakukan pengandaian adalah keraguan terhadap status air apakah masih bisa mensucikan atau tidak, sedangkan hukum asalnya adalah suci dan mensucikan.


فَهَذَا التَّقْدِيرُ مَنْدُوبٌ وَلَا وَاجِبٌ کَمَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ الطُّوخِيْ عَنْ ابْنِ قَاسِمٍ، فَإِذَا أَعْرَضَ عَنِ التَّقْدِيرِ فَهَجَمَ وَاسْتَعْمَلَهُ

… کَفَی.
إِذْ غَايَةُ الأَمْرِ : أَنَّهُ شَاكٌّ فِي التَّغَيُّرِ الْمُضِرِّ. وَالأَصْلُ عَدَمُهُ

“Pengandaian ini hukumnya mustahab, bukan wajib sebagaimana dinukil oleh syeikh at-Thukhi dari Ibnu Qasim. Jika seseorang tidak mau mengandaikan perubahan air dan langsung menggunakan air tersebut maka sudah cukup baginya. Hal ini karena dampak maksimal akibat tidak melakukan pengandaian adalah keraguan terhadap ada tidaknya perubahan air yang bisa mempengaruhi status air sedangkan hukum asalnya tidak ada perubahan.” (Hasyiah al-Baajuri I/189)

Hal ini sesuai dengan kaedah fikih,

اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ

“Sesuatu yang yakin tidaklah bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan.”

Akan tetapi jika seseorang melakukan pengandaian dalam masalah ini maka hal itu lebih utama sebagaimana dinyatakan para ulama.

Allahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Agus Waluyo

Leave a Reply