Hukum Bangkai
Yang disebut bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa melalui sembelihan yang syar’i, baik tidak disembelih sama sekali atau disembelih akan tetapi dengan penyembelihan yang tidak syar’i semisal disembelih oleh orang majusi. (Hasyiah Al-Bajuri I/441)
Di antara penyembelihan yang tidak syar’i adalah disembelih oleh majusi, disembelih oleh orang yang sedang ihram, disembelih dengan menggunakan tulang, hewan yang dagingnya tidak halal dimakan meskipun disembelih, termasuk pula janin yang ikut hukum induknya (apakah disembelih dengan cara syar’i atau tidak), serta binatang buruan yang masih hidup dan belum sempat disembelih. (Mughni Muhtaj I/230)
Bangkai dihukumi najis berdasarkan firman Allah Ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain nama Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih.” (QS. Al-Maidah: 3)
Semua bagian bangkai dihukumi najis tanpa terkecuali. Al-‘Allamah Al-Khatib As-Syirbini rahimahullahu mengatakan,
وَدَخَلَ فِي نَجَاسَةِ الْمَيْتَةِ جَمِيعُ أَجْزَائِهَا مِنْ عَظْمٍ وَشَعْرٍ وَصُوفٍ وَوَبَرٍ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
“Semua bagian bangkai dihukumi najis seperti tulang, bulu (seperti bulu kambin), bulu wol, bulu unta, dan yang lainnya.” (Mughni Muhtaj I/231)
Di antara bagian bangkai adalah kulit. Oleh karena itu kulit bangkai dihukumi najis dan tidak bisa dimanfaatkan seperti dijadikan sepatu, tas, jaket, dan yang lainnya. Kulit yang najis tersebut mencakup kulit bangkai dari jenis hewan yang tidak halal dimakan dagingnya seperti harimau, singa, dan yang semisalnya. Demikian pula kulit bangkai dari jenis hewan yang halal dimakan dagingnya seperti kambing, domba, dan sapi.
Kulit bangkai bisa menjadi suci
Kulit bangkai yang najis, baik itu berasal dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau tidak, jika disamak bisa menjadi suci, kecuali kulit anjing dan babi.
An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
فَكُلُّ الْجُلُودِ النَّجِسَةِ بَعْدَ الْمَوْتِ تَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ إلَّا الْكَلْبَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْمُتَوَلَّدَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ عِنْدَنَا
“Semua kulit yang najis karena kematian hewan bisa menjadi suci dengan cara disamak, kecuali kulit anjing dan babi dan keturunan dari salah satunya. Hukum ini telah disepakati dalam mazhab kami.” (Al-Majmu’ I/215)
Dalil yang mendasari sucinya kulit bangkai setelah disamak adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
“Jika kulit telah disamak, maka menjadi suci.” (HR. Muslim, no. 366)
Yang dimaksud dengan الإِهَاب adalah kulit yang belum disamak (Al-Majmu’ I/215)
Kulit bangkai yang sudah disamak bisa dimanfaatkan sebagaimana ditegaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis:
تُصُدِّقَ عَلَى مَوْلَاةٍ لِمَيْمُونَةَ بِشَاةٍ. فَمَاتَتْ. فَمَرَّ بِهَا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال “هَلَّا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا، فَدَبَغْتُمُوهُ، فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ؟ ” فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ. فَقَالَ “إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا”
“Bekas budak perempuan Maimunah diberi sedekah berupa kambing, lalu kambing tersebut mati. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati bangkai kambing tersebut, beliau mengatakan: ‘Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian menyamaknya dan memanfaatkannya?’ para sahabat mengatakan: ‘Ini sudah menjadi bangkai.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Yang diharamkan hanya memakannya.'” (Muttafaqun ‘alaihi)
Penyamakan kulit bangkai hanya bisa menyebabkan sucinya kulit tersebut, tidak bisa menyebabkan sucinya bulu atau rambut yang ada pada kulit. Namun jika rambut atau bulu tersebut sedikit maka dimaafkan. (Hasyiah Al-Baajuri I/207)
Kulit tersebut menjadi suci baik bagian luar kulit yaitu yang nampak dari kedua sisi kulit, ataupun bagian dalam kulit yaitu bagian yang akan terlihat jika kulit disobek. (Hasyiah Al-Baajuri I/207)
Adapun kulit bangkai anjing, babi, dan keturunan dari salah satu keduanya tidak bisa menjadi suci meskipun dengan disamak. Ini karena sebab kenajisan bangkai adalah bisa menjadi busuk, sedangkan keadaan hidup lebih kuat untuk menolak najis; yang pada anjing dan babi tidak bisa menolak najis ketika hidupnya, maka lebih-lebih lagi ketika sudah menjadi bangkai.
Al-‘Allamah Ar-Ramli mengatakan,
وَخَرَجَ بِنَجِسٍ بِالْمَوْتِ جِلْدُ الْمُغَلَّظَةِ فَلَا يَطْهُرُ بِالدِّبَاغِ، إذْ سَبَبُ نَجَاسَةِ الْمَيْتَةِ تَعَرُّضُهَا لِلْعُفُونَةِ وَالْحَيَاةُ أَبْلَغُ فِي دَفْعِهَا، فَإِذَا لَمْ تُفِدْ الطَّهَارَةَ فَالِانْدِبَاغُ أَوْلَى
“Yang bukan termasuk najis dengan sebab kematian adalah najis mughaladzah. Maka najis mughaladzah (kulitnya) tidak bisa menjadi suci meskipun dengan disamak. Hal ini karena sebab najisnya bangkai adalah bangkai tersebut bisa menjadi busuk. Sedangkan jika keadaan hidup itu lebih kuat untuk menolak najis; yang keadaan hidup (anjing dan babi) tidak bisa menolak najis, maka lebih-lebih lagi ketika sudah menjadi bangkai (tidak bisa menolak najis).” (Nihayatul Muhtaj I/250)
Arti penyamakan kulit
Yang dimaksud dengan menyamak adalah menghilangkan sisa-sisa yang ada pada kulit yang bisa menyebabkan pembusukan, seperti darah, potongan daging, dan yang semisalnya. Penyamakan dilakukan dengan menggunakan bahan yang sifatnya kesat seperti kulit delima meskipun dengan bahan najis semisal kotoran burung merpati. (Hasyiah Al-Baajuri I/208-209 dan Mughni Muhtaj I/238)
Penyamakan kulit bisa dikatakan berhasil jika seandainya kulit yang sudah disamak dimasukkan ke dalam air maka tidak akan terjadi pembusukan.
Al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan,
وَضَابِطُ نَزْعِهَا مِنْهُ أَنْ يَكُونَ بِحَيْثُ لَوْ نُقِعَ فِي الْمَاءِ لَمْ يَعُدْ إلَيْهِ النَّتْنُ
“Yang menjadi patokan apakah sisa-sisa yang ada pada kulit sudah hilang atau belum adalah jika kulit tersebut dicelupkan ke dalam air, maka tidak akan terjadi pembusukan.” (Tuhfatul Muhtaj I/309)
Bahan yang digunakan untuk menyamak
Bahan yang bisa digunakan untuk menyamak kulit adalah bahan yang mempunyai rasa tajam, kesat; baik itu berupa benda suci seperti kulit buah delima ataupun benda najis seperti kotoran burung merpati.
Al-‘Allamah Al-Khatib As-Syirbini menyatakan,
إِنَّمَا يَحْصُلُ بِحِرِيفٍ بِكَسْرِ الْحَاءِ الْمُهْمَلَة وَتَشْدِيْدِ الرَّاءِ كالقَرَظِ وَالعَفْصِ وَقُشُورِ الرُّمَّانِ وَلَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ بَيْنَ الطَّاهِرِ كَمَا ذَكَرَ وَالنَّجِسِ كذَرْقِ الطُّيُوْرِ وَلَا يَكْفِي التَجْمِيْدُ بِالتُّرَابِ وَلَا بالشَمْسِ وَنَحْوِ ذَلِك مِمَّا لَا يَنْزَعُ الفُضُولَ وَإِنْ جَفَ الْجِلْدُ وَطَابَتْ رَائِحَتُهُ لِأَن الفَضَلَاتِ لَمْ تَزُلْ وَإِنَّمَا جَمَدَتْ بِدَلِيْلَ أَنّهُ لَوْ نُقِعَ فِيْ المَاءِ عَادَتْ إِلَيْهِ العُفُونَةُ
“Penyamakan kulit bisa dilakukan dengan menggunakan bahan yang rasanya menyengat atau kesat seperti daun pohon akasia, daun pohon pinus, dan kulit buah delima. Tidak ada bedanya antara bahan yang suci ataupun najis seperti kotoran burung. Tidaklah mencukupi penyamakan dengan hanya mengeraskan dengan tanah, tidak pula dengan mengeringkan dengan terik matahari dan selain itu yang tidak bisa menghilangkan sisa-sisa zat yang ada pada kulit meskipun kulit sudah menjadi kering dan berbau enak. Hal ini karena sebenarnya sisa-sisa zat yang ada pada sekitar kulit belum hilang tapi hanya mengeras saja, buktinya jika kulit tersebut dimasukkan ke dalam air maka bau busuk akan muncul kembali.” (Al-Iqna’ I/9)
Penyamakan bisa dilakukan dengan cara memisahkan kulit dari bangkai terlebih dahulu, kemudian dilakukan penyamakan sampai selesai. Setelah penyamakan kulit selesai, kemudian dicuci agar najisnya hilang. Hal ini dikarenakan kulit yang disamak statusnya seperti kain yang terkena najis, baik bahan yang digunakan untuk menyamak berupa bahan suci atau bahan najis. Jika bahan yang digunakan adalah benda najis, maka sudah tentu kulit menjadi najis karena bersentuhan dengan benda najis. Demikian pula jika bahan yang digunakan adalah benda suci, kulit tetap menjadi najis karena bercampur dengan sisa-sisa yang ada pada kulit semisal darah yang najis.
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
وَلَا يَجِبُ اسْتِعْمَالُ الْمَاءِ فِي أَثْنَاءِ الدِّبَاغِ عَلَى الْأَصَحِّ، وَيَجِبُ الْغَسْلُ بَعْدَهُ إِنْ دَبَغَ بِنَجِسٍ قَطْعًا، وَكَذَا إِنْ دَبَغَ بِطَاهِرٍ عَلَى الْأَصَحِّ، فَعَلَى هَذَا إِذَا لَمْ يَغْسِلْهُ، يَكُونُ طَاهِرَ الْعَيْنِ، كَثَوْبٍ نَجِسٍ
“Tidak ada kewajiban menggunakan air saat proses penyamakan menurut pendapat terkuat dalam mazhab. Namun wajib mencuci kulit setelah disamak tanpa ada perselisihan jika penyamakan menggunakan bahan najis. Demikian pula wajib mencuci setelah disamak meskipun bahan yang digunakan adalah bahan yang suci. Berdasarkan pendapat ini, maka jika kulit tidak dicuci maka statusnya adalah suci secara zatnya sebagaimana baju yang terkena najis (zat baju suci).” (Raudhatut Thalibin I/42)
Hukum mengkonsumsi kulit yang sudah disamak
Kulit yang sudah disamak boleh dimanfaatkan untuk dijadikan satu produk ataupun dijual, akan tetapi tidak boleh dikonsumsi.
Al-‘Allamah Al-Khatib As-Syirbini mengatakan,
وَلَا يَحِلُّ أَكْلُهُ سَوَاءٌ أَكَانَ مِنْ مَأْكُولِ اللَّحْمِ أَمْ مِنْ غَيْرِهِ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ «إنَّمَا حَرُمَ مِنْ الْمَيْتَةِ أَكْلُهَا»
“Tidak boleh memakannya, baik kulit tersebut berasal dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau tidak, berdasarkan hadis: ‘Yang dilarang dari bangkai adalah memakannya.'” (Mughni Muhtaj I/238-239)
Allahu a’lam
Penulis: Ustadz Agus Waluyo