Macam-macam Air najis
Ditinjau dari tempatnya, air najis terbagi menjadi dua:
1. Air najis pada air yang sedikit.
2. Air najis pada air yang banyak.
Najis pada Air yang Sedikit
Jika air kurang dari dua kulah kemasukan najis maka air tersebut menjadi najis walaupun tidak ada perubahan pada salah satu sifat air. Hal ini berdasarkan hadits,
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
“Jika air telah mencapai dua kulah, tidak bisa terpengaruh dengan najis.” (HR. at-Tirmidzi no. 67, an-Nasa’i no. 52, Abu Dawud no. 63 dan Ahmad no. 4813)
Hadits ini memberikan pemahaman: Jika air kurang dari dua kulah maka bisa terpengaruh najis dan tidak bisa menolaknya. (al-Minhaj al-Qawim hlm. 36-37)
Hukum ini berlaku untuk air yang sedikit, yaitu semata-mata terkena najis langsung dihukumi najis walaupun tidak ada perubahan pada air tersebut.
Sedangkan air yang banyak, menjadi najis ketika air tersebut kemasukan najis dan terjadi perubahan salah satu sifat air, meskipun perubahan tersebut hanya sedikit.
Hukum Cairan Selain Air
Benda cair selain air, semisal minyak, madu, jus, dan yang lainnya hukumnya sebagaimana hukum air yang sedikit dari sisi menjadi najis semata-mata kemasukan najis, baik cairan itu banyak atau sedikit.
Hal ini berbeda dengan air ketika jumlahnya banyak tidak langsung dihukumi najis dengan sekedar kemasukan benda najis tapi harus dilihat ada perbahan atau tidak.
Al-‘Allamah Abdullah bin Abdurrahman Bafadl mengatakan,
يَنْجُسُ المَاءُ القَلِيْلُ وَغَيْرُهُ مِنَ المائِعَاتِ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ
“Air yang sedikit dan cairan lainnya selain air (meskipun banyak) menjadi najis disebabkan kemasukan benda najis.” (al-Muqaddimah al-Hadramiyyah, hlm. 55)
Para ulama membedakan antara “air yang banyak” dengan “cairan selain air yang banyak”, dari sisi bahwa tidak sulit bagi cairan untuk dihindarkan dari najis (sedangkan air yang banyak sulit dihindarkan dari najis) (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 37)
Najis-Najis yang Dimaafkan
Dikecualikan dalam masalah ini, beberapa najis yang jika “masuk pada air yang sedikit” dan “air tersebut tidak mengalami perubahan”, maka najis tersebut dimaafkan, sehingga secara hukum sebagaimana benda suci yang lain.
Najis-najis yang dimaafkan tersebut antara lain:
1. Najis yang tidak bisa dilihat dengan pandangan mata normal, dengan syarat: (a) Bukan najis mughaladzah (najis anjing dan babi), (b) Najisnya sedikit, (c) Tidak mengubah air, (d) Tidak sengaja dilakukan. Hal ini dikarenakan sulitnya menghindar darinya. (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 37 )
Bisa kita contohkan najis yang tidak bisa terlihat seperti satu titik air kencing dan najis yang menempel pada kaki lalat.
2. Bangkai dari hewan yang tidak mengalir darahnya. Hal ini diketahui dengan tidak mengalirnya darah ketika anggota tubuhnya terpotong saat masih hidup, seperti lalat, semut, nyamuk, cecak, dan yang lainnya. Jika ragu-ragu apakah termasuk hewan yang mengalir darahnya atau tidak, boleh dilukai untuk mengetahui apakah darahnya mengalir atau tidak menurut pendapat ar-Ramli mengikuti pendapat al-Ghazali karena ada kebutuhan. Adapun menurut Ibnu Hajar al-Haitami mengikuti pendapat Imam Haramain yang mengatakan tidak boleh dilukai karena termasuk penyiksaan dan hewan tersebut dihukumi tidak mengalir darahnya untuk mempertahankan hukum asal air yaitu suci dan air tidak menjadi najis dengan adanya keraguan. (Quut al-Habib al-Gharib, hlm. 20). Namun jika airnya berubah atau jika sengaja dimasukkan dalam keadaan mati maka air dihukumi najis. Hal ini berdasarkan hadits,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ ؛ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Jika lalat jatuh ke air minum salah seorang di antara kalian, maka tenggelamkanlah kemudian buanglah, karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat penawarnya.” (HR. Bukhari, no. 3320)
Sisi pendalilan dari hadis ini bahwasanya seandainya bangkai lalat menyebabkan najis, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan untuk menengelamkannya. Diqiyaskan juga dengan lalat, hewan-hewan lain yang tidak punya darah yang mengalir. (al-Fiqhu al-Manhaji I/44)
3. Mulut kucing yang terkena najis kemudian pergi dan ada kemungkinan (walaupun kecil) mencelupkan mulutnya dalam air yang mengalir atau air menggenang yang banyak, maka ketika kucing tersebut kembali lagi dan meminum di air yang sedikit atau cairan lain maka air tersebut tetap dihukumi suci. (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 38)
Al-Khatib asy-Syirbini rahimahullah mengatakan,
وَلَوْ تَنَجَّسَ فَمُ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ مِنْ هِرَّةٍ أَوْ غَيْرِها ثُمَّ غَابَ وَأَمْكَنَ وُرُوْدُهُ مَاءً كَثِيْرًا، ثُمَّ وَلَغَ فِيْ طَاهِرٍ لَمْ يُنَجِّسْهُ مَعَ حَكَمْنَا بِنَجَاسَةِ فَمِهِ، لِأَنَّ الأَصْلَ نَجَاسَتُهُ وَطَهَارَةُ المَاءِ وَقَدِ اعْتَضَدَ أَصْلُ طَهَارَةِ المَاءِ بِاحْتِمَالِ وُلُوْغِهِ فِيْ مَاءٍ كَثِيْرٍ فِيْ الغَيْبَةِ فَرُجِّحَ
“Jika ada hewan suci seperti kucing atau selainnya yang mulutnya terkena najis, kemudian hewan tersebut pergi, ada kemungkinan dia mendatangi air yang banyak dan mencelupkan mulutnya pada air tersebut. Setelah itu, hewan tersebut minum di air yang suci, maka hal ini tidak membuat air suci tersebut lantas menjadi najis, meskipun kita hukumi mulut hewan tersebut bernajis. Jadi, meskipun hukum asal mulut hewan tersebut bernajis akan tetapi hukum asal air tersebut adalah suci, sehingga hukum asal air yang suci ini kita menangkan karena diperkuat dengan adanya kemungkinan masuknya mulut hewan tersebut ke dalam air yang banyak (sehingga mulut hewan tersebut menjadi suci).” (al-Iqna’, hlm. 50)
Semisal dengan kucing adalah anak kecil dan semua hewan yang lain kecuali anjing dan babi; jika terkena najis kemudian pergi dan ada kemungkinan tersucikan, maka jika kembali kemudian minum di air yang sedikit atau di cairan selain air, tidak menajiskan. (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 38)
4. Asap yang sedikit dari benda najis dan mutanajis (benda yang terkena najis). Semisal dengan ini adalah uap benda najis dan mutanajis yang dipanasi dengan api. Contohnya: Air kencing yang dipanasi dengan api, maka uapnya yang sedikit tidak menajiskan air yang sedikit. Uap tersebut secara zatnya adalah najis, dikarenakan dengan dipanasi api maka najis akan melepas partikelnya bersamaan dengan uap tersebut sehingga jika uapnya banyak maka bisa menajiskan air yang sedikit.
Ini berbeda dengan uap najis yang keluar bukan dengan cara dipanasi dengan api maka dihukumi suci karena tidak ada partikel dari najis, contohnya seperti uap atau udara dari kakus (WC) dan angin kentut yang keluar dari dubur (ketika manusia buang angin) meskipun baju yang dipakai dalam keadaan basah. (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 39 dengan tahqiq Dr. Musthafa Sa’id Khin dkk.)
5. Bulu najis dari hewan dimaafkan bagi orang yang tidak menungganginya dengan syarat bulu najisnya tersebut sedikit. Sedangkan bagi orang yang menungganginya, najisnya dimaafkan walaupun banyak. Gambaranya adalah seperti rontoknya rambut atau bulu dari hewan yang tidak dimakan dagingnya. (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 39)
6. Debu atau partikel kecil dari kotoran hewan yang dijadikan pupuk. Debu dari kotoran hewan yang beterbangan tidak menajiskan badan ataupun pakaian walaupun basah. (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 39)
7. Kotoran hewan yang tersisa pada duburnya, semisal keledai yang kencing atau berak kemudian tersisa bekas kotoran tersebut pada duburnya. Demikian pula hewan-hewan yang lain seperti tikus, burung, dan lainnya jika mengenai air yang sedikit maka dimaafkan dengan syarat tidak ada najis tambahan dari luar binatang tersebut. (Hasyiah Tarmasi I/308 )
8. Darah sedikit yang tersisa di sekitar daging dan tulang, maka boleh langsung dimasak tanpa dicuci terlebih dahulu. (Hasyiah Tarmasi I/309 )
Najis-najis tersebut semuanya dimaafkan dengan alasan sulit untuk menghindarinya.
Syeikh Sa’id bin Muhammad ba Ali Ba’isyan mengatakan,
وَالضَّابِطُ :أَنَّ مَا يَشُقُّ الاِحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا… يُعْفَی عَنْهُ -وَلَوْ بِغَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَيْهِ- بِثَلَاَثةِ شُرُوْطٍ : أَنْ لَا يَکُوْنَ بِمُغَلَظٍ وَلَا بِفِعْلِهِ وَأَنْ لَا يُغَيِّرَ غَالِبًا
“Kaedahnya adalah: Semua najis yang umumnya sulit dihindari maka dimaafkan -walaupun tidak ada dalil khususnya- dengan tiga syarat: (1) Bukan berasal dari najis mughaladzah (anjing dan babi), (2) Tidak sengaja dilakukan, (3) Umumnya tidak menyebabkan perubahan pada air.” (Busyro al-Karim, hlm. 80)
Hal ini berdasarkan firman Allah ta`ala,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Tidaklah kami jadikan bagi kalian agama ini kesempitan.” (QS. al-Hajj: 78)
یُرِیدُ اللهُ بِكُمُ ٱلۡیُسۡرَ وَلَا یُرِیدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan bagi kalian…” (QS. al-Baqarah: 185)
Dalil-dalil lain juga menunjukkan bahwa agama Islam memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan.
Najis pada Air yang Banyak
Jika air yang sedikit kemasukan najis maka air tersebut langsung dihukumi najis walaupun tidak mengalami perubahan. Berbeda dengan air yang banyak, air yang banyak yaitu dua kulah (200 liter) atau lebih, jika kemasukan benda najis tidak langsung dihukumi najis kecuali jika berubah salah satu dari tiga sifatnya yaitu rasa, warna, atau baunya meskipun perubahan itu sedikit.
Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Bafadhl rahimahullah berkata,
وَإِذَا کَانَ المَاءُ قُلَّتَيْنِ فَلَا يَنْجُسُ بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ فِيْهِ، إِلَّا إِنْ تَغَيَّرَ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيْحُهُ وَلَوْ تَغَيُّرًا يَسِيْرًا
“Jika air telah mencapai dua kulah, maka tidak bisa menjadi najis hanya semata-mata kemasukan benda najis, kecuali jika berubah rasa, warna, atau baunya walaupun perubahan itu sedikit.” (al-Muqaddimah al-Hadromiyah, hlm. 56)
Kita misalkan ada air 250 liter dalam bak dan kejatuhan benda najis, maka kita lihat apakah ada perubahan salah satu sifat pada air tersebut. Jika air tersebut tidak mengalami perubahan sama sekali, maka air tetap dalam keadaan asalnya yaitu suci dan mensucikan. Namun jika air mengalami perubahan salah satu sifatnya; baik itu warna, rasa, atau baunya meskipun perubahan tersebut sedikit maka air tersebut berubah statusnya menjadi air najis.
Berubahnya Air Najis Menjadi Suci Kembali
Air najis yang sebelumnya suci bisa kembali menjadi suci dalam beberapa keadaan:
- Untuk air sedikit yang menjadi najis, bisa menjadi suci kembali jika ditambahkan air lain ke dalamnya, baik berupa air mutanajis atau air musta’mal sehingga volumenya mencapai dua kulah dan tidak ada perubahan pada air tersebut.
- Adapun air banyak yang menjadi najis, bisa kembali menjadi suci jika perubahan yang terjadi hilang dengan sendirinya atau dengan cara menambahkan air atau mengurangi air dengan syarat air yang tersisa masih dua kulah atau lebih.
Al-‘Allamah Zainuddin al-Malibari rahimahullah mengatakan,
وَالْمَاءُ القَلِيْلُ إِذَا تَنَجَّسَ يَطْهُرُ بِبُلُوْغِهِ قُلَّتَيْنِ وَلَوْ بِمَاءٍ مُتَنَجِّسٍ حَيْثُ لَا تَغَيُّرَ بِهِ وَالكَثِيْرُ يَطْهُرُ بِزَوَالِ تَغَيُّرِهِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِمَاءٍ زِيْدَ عَلَيْهِ أَوْ نَقَصَ عَنْهُ وَكَانَ البَاقِيْ كَثِيْرًا
“Air sedikit jika menjadi najis, maka bisa menjadi suci kembali dengan bertambah volumenya sehingga mencapai dua kulah meskipun yang ditambahkan adalah air mutanajis dengan syarat tidak nampak perubahan pada air tersebut. Adapun air banyak bisa menjadi suci kembali dengan hilangnya perubahan pada air tersebut, baik hilang dengan sendirinya atau dengan menambahkan air, atau dengan mengurangi volume air. Dan air yang tersisa tersebut masih dua kulah atau lebih.” (Fathul Mu’in, hlm. 22)
Jika perubahan yang terjadi tersebut tidak hilang dengan sendirinya, akan tetapi dengan cara memasukkan zat tertentu ke dalam air tersebut, seperti minyak misik, cuka, atau tanah, maka air tersebut tetap kita hukumi najis dikarenakan hilangnya perubahan tersebut masih diragukan apakah benar-benar hilang ataukah hanya tertutup saja oleh zat lain yang dimasukkan tersebut. (I’anatut Thalibin I/62 )
Allahu a’lam.
Penulis: Ustadz Agus Waluyo