Belajar Fiqih Mazhab Syafi’i: Ijtihad untuk Menentukan Antara Benda Suci dan Najis (Seri 6)

Ijtihad untuk Menentukan Antara Benda Suci dan Najis

Ijtihad yang dimaksud di sini adalah mengeluarkan kemampuan untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. 

Pada pembahasan kali ini kita akan mempelajari tentang ijtihad dalam bersuci.

Contoh ijtihad dalam bersuci:

Contoh pertama: ada dua air dalam dua wadah yang berbeda, salah satu air tersebut suci, dan air yang satunya sudah terkena najis. 

Contoh kedua: ada dua baju, salah satu baju suci, dan yang lainnya terkena najis.

Contoh ketiga: ada dua wadah, salah satu wadah satu suci, dan yang lainnya terkena najis. 

Dalam kondisi-kondisi tersebut dilakukan ijtihad, untuk menentukan benda yang suci di antara kedua benda tersebut. (at-Taqrirat as-Sadidah, hlm. 71)

Hukum Ijtihad dalam Bersuci

Ijtihad dalam bersuci, hukumnya bisa jadi Mubah (boleh), bisa pula Wajib.

Ijtihad dalam Bersuci yang Mubah

Syarat-syarat ijtihad yang hukumnya mubah, antara lain:

  1. Masih ada air atau selain air (misal baju atau wadah) yang diyakini suci, selain dua air yang tersamarkan kesuciannya tersebut.
  2. Benda yang tersamarkan lebih dari satu. Jika benda yang tersamarkan hanya satu, maka tidak boleh melakukan ijtihad. Contohnya jika ada satu baju yang terkena najis, dan tidak diketahui sebelah mana najis itu berada, maka dalam kasus ini tidak boleh melakukan ijtihad dengan mencuci bagian dari baju yang disangka terkena najis. Namun yang wajib dilakukan adalah mencuci keseluruhan bagian baju.
  3. Memungkinkan ditemukan tanda-tanda yang bisa menguatkan pilihan dalam ijtihad. Adapun jika tidak memungkinkan ditemukan tanda-tandanya, maka tidak boleh melakukan ijtihad. Sebagai contoh, jika seseorang laki-laki mempunyai mahram yang tinggal di satu kampung yang penduduknya sedikit, dan tidak diketahui perempuan yang mana yang menjadi mahramnya, maka tidak boleh baginya menikah dengan salah satu perempuan di kampung tersebut.
  4. Masing-masing benda yang tersamarkan tersebut status asalnya suci atau halal. Sehingga tidak sah jika salah satunya adalah benda najis, seperti air kencing atau bangkai. Dengan demikian, jika ada dua air, yang satu air suci mensucikan dan yang satunya air kencing, maka tidak bisa dilakukan ijtihad, karena air kencing sejak awalnya tidak bisa digunakan untuk bersuci. Dalam keadaan ini, yang dilakukan adalah tayamum setelah air suci dan air kencing dicampur jadi satu, sehingga keadaan setelahnya adalah tidak didapatkan air suci yang bisa digunakan untuk bersuci, karena air sudah dijadikan satu dan menjadi air najis.

al-‘Allamah Mahfudz at-Tarmasi rahimahullah mengatakan,

بَلْ فِي الْمَسْأَلَةِ الثَّانِيَةِ يَتَيَمَّمُ بَعْدَ تَلَفٍ لَهُمَا أَوْلأَحَدِهِمَا وَلَوْ بِصَبِّ شَيئٍ مِنْهُ فِي الآخَرِ

“Akan tetapi pada gambaran kedua (tersamarkannya antara air suci dan air kencing), yang dilakukan adalah tayamum, setelah hilangnya kedua air tersebut atau salah satunya, meskipun dengan cara menggabungkan satu dengan yang lainnya.” (Hasyiah at-Tarmasi I/345)

Contoh lain, tersamarkan antara air suci mensucikan dengan air bunga mawar. Pada keadaan ini juga tidak bisa dilakukan ijtihad, karena air bunga mawar sejak awalnya tidak bisa digunakan untuk bersuci. Dalam keadaan ini, yang dilakukan adalah menggunakan masing-masing untuk bersuci.

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan,

بَلْ يَتَوَضَّأُ بِالْمَاءِ وَمَاءِ الْوَرْدِ بِكُلِّ مَرَّةٍ

” Akan tetapi dengan menggunakan air suci dan air bunga mawar, masing-masing untuk bersuci.” (al-Minhaj al-Qawim, hlm. 43)

Ijtihad dalam Bersuci yang Wajib

Pada satu kondisi, ijtihad wajib dilakukan, jika terpenuhi syarat-syarat berikut ini:

  1. Hanya ada dua air yang tersamarkan statusnya, dan tidak mempunyai air lain yang suci yang ia yakini.
  2. Jika air yang tersamarkan statusnya berupa air suci mensucikan dan air mutanajis, yang seandainya kita gabungkan maka air tidak mencapai dua kulah, atau mencapai dua kulah namun air mengalami perubahan, maka dalam kondisi ini wajib melakukan ijtihad. Adapun jika kedua air tersebut jika kita gabungkan bisa mencapai dua kulah dan tidak terdapat perubahan maka tidak ada ada kewajiban ijtihad dalam kondisi ini. Boleh memilih antara menggabungkan kedua air tersebut untuk digunakan bersuci atau melakukan ijtihad agar bisa memilih salah satunya.
  3. Waktu shalat yang tersisa tinggal sedikit (sehingga jika tidak segera melakukan ijtihad, waktu akan habis) (at-Taqriraat as-Sadiidah, hlm.72)

Catatan Penting Terkait Ijtihad dalam Bersuci

Beberapa catatan terkait dengan ijtihad dalam bersuci:

  1. Seseorang, jika tersamarkan baginya dua air dalam wadah, kemudian nampak salah satu dari keduanya adalah suci berdasarkan tanda-tanda, maka ia gunakan air tersebut, dan disunnahkan untuk menumpahkan air yang lain. Jika air yang lain tidak ditumpahkan dan masuk waktu shalat berikutnya, maka wajib melakukan ijtihad kembali. Jika hasil ijtihad kedua sama dengan hasil ijtihad pertama, maka hasil ijtihad tersebut digunakan. Namun jika hasil ijtihad kedua berbeda dengan hasil ijtihad pertama, maka kedua air tersebut atau salah satunya ditumpahkan, kemudian tayamum, kemudian melakukan shalat, dan tidak perlu mengulangi shalat jika nanti mendapatkan air suci. Hal ini karena ijtihad kedua tidak bisa membatalkan ijtihad yang pertama. (at-Taqrirat as-Sadiidah, hlm. 72-73)
  2. Orang yang bisa melihat, dia wajib melakukan ijtihad jika ia mampu. Namun jika tidak mampu, boleh baginya taklid (mengikuti informasi orang lain). Adapun orang buta, tidak ada kewajiban ijtihad baginya, meskipun boleh baginya berijtihad, bahkan boleh taklid. (at-Taqrirat as-Sadiidah, hlm.73)
  3. Imam as-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm (I/31), “Jika seseorang ketika safar mempunyai dua air dalam dua wadah, yang satu suci dan yang lainnya najis, dan tersamarkan baginya antara kedua air tersebut dalam keadaan ia khawatir jika menggunakan air tersebut untuk wudhu, ia bisa kehausan setelahnya, maka dalam kondisi ini yang ia lakukan adalah berijtihad sampai ada persangkaan kuat terhadap sucinya air yang ia pilih, kemudian ia gunakan untuk berwudhu. Adapun air yang yang satunya, ia tahan terlebih dahulu sampai ia kehausan, kemudian ia minum air tersebut. Syeikh Abu Hamid mengatakan bahwa hal tersebut adalah pendapat yang benar, karena meninggalkan wudhu dalam keadaan ada air  karena kekhawatiran kehausan setelahnya kemudian beralih ke tayamum tidaklah diperbolehkan. Yang dibolehkan untuk tayamum adalah dalam kondisi ada air dan kehausan saat itu juga (bukan setelahnya). Adapun meminum air yang najis karena takut keselamatan jiwa, hukumnya boleh, sebagaimana bolehnya makan bangkai (ketika darurat, yaitu takut keselamatan jiwa terancam). (al-Bayan fi madzhabi al-Imam as-Syafi’i I/63)
  4. Jika seseorang mempunyai dua makanan, yang satu suci dan yang lain terkena najis, serta tersamarkan baginya mana makanan yang suci, maka boleh bagi dia untuk berijtihad, berupaya menentukan makanan mana yang suci, karena hukum asal dari kedua makanan tersebut adalah mubah untuk dimakan, sebagaimana bolehnya berijthad bagi seseorang jika tersamarkan baginya air suci dan air najis. (al-Bayan fi madzhabi al-Imam as-Syafi’i I/64)
  5. Jika seseorang mempunyai dua wadah, kemudian ada orang lain yang mengabarkan bahwa salah satu wadah tersebut dijilat anjing, maka informasi tersebut diterima dan tidak perlu melakukan ijtihad. Hal ini dilakukan, karena sebuah informasi itu lebih dikedepankan daripada ijtihad, sebagaimana dalam bab penentuan kiblat dalam shalat. Namun, jika ada dua orang yang mengabarkan, orang yang pertama mengabarkan bahwa anjing telah menjilat wadah A, sedangkan yang lain mengabarkan bahwa yang dijilat anjing adalah wadah B, maka kedua wadah tersebut dihukumi najis semua, karena ada kemungkinan bahwa kedua informasi itu benar, yaitu anjing menjilat kedua wadah tersebut pada waktu yang berbeda. (al-Muhaddzab I/53)
  6. Jika seseorang telah melakukan ijtihad karena tersamarkan antara dua air suci dan mensucikan dengan air najis, namun tidak ada hasil, yaitu tidak ada persangkaan kuat tentang air mana yang suci, maka yang ia lakukan adalah membuang kedua air tersebut, atau menggabungkannya, kemudian tayamum (dalam kondisi ini, tidak perlu mengulang shalat jika nanti mendapatkan air). Jika ia langsung tayamum dan shalat sebelum membuang kedua air tersebut atau sebelum menggabungkannya, maka ia harus mengulang shalatnya jika mendapati air. (al-Muhadzab I/54)

Allahu a’lam

 Penulis: Ustadz Agus Waluyo

Leave a Reply