Belajar Fiqih Mazhab Syafi’i: Air Musta’mal (Seri 2)

Macam-Macam Air (Bagian 2)

Setelah sebelumnya kita membahas tentang air mutlak yang terbagi menjadi dua dari sisi hukum penggunaannya, pada tulisan kali ini kita akan sedikit membahas tentang jenis air yang kedua yaitu air suci namun tidak mensucikan.

Air Suci Tidak Mensucikan

Air suci tidak mensucikan adalah air yang suci zatnya sehingga jika mengenai benda lain tidak perlu disucikan karena tidak najis, akan tetapi jenis air ini tidak bisa mensucikan sehingga tidak bisa digunakan untuk taharah seperti wudhu, mandi junub, dan menghilangkan najis.

Air suci tidak mensucikan terbagi menjadi dua:

  1. Air musta’mal.
  2. Air yang tercampur benda suci yang lain.

Air Musta’mal

Sebelum kita mendefinisikan apa itu air musta’mal, terlebih dahulu perlu kita ketahui bahwa para ulama membagi air dari sisi banyak dan sedikitnya menjadi dua:

  1. Air sedikit, yaitu air yang volumenya kurang dari dua kulah.
  2. Air banyak, yaitu air yang volumenya dua kulah atau lebih. Kulah adalah ukuran untuk volume air yang digunakan oleh bangsa arab zaman dahulu. Dua kulah adalah seukuran lima ratus rithl Baghdad. Jika dikonversi ke dalam satuan berat zaman sekarang setara dengan 200 kg atau jika ditakar seukuran 200 liter (Al-Wasith 1/22). Sebagian mengkonversi menjadi 217 liter. (At-Taqrirat As-Sadidah 1/62). Jika dalam bentuk kubus, maka panjang, lebar dan tingginya masing-masing 1,25 hasta (Al-Fiqhu Al-Manhaji 1/34), yaitu sekitar 60 cm. (Matnu Al-Ghayah Wattaqrib, Tahqiq Majid Hamawi, hlm. 27)

Defisini Air Musta’mal

Air musta’mal adalah air sedikit (kurang dari dua kulah) yang telah digunakan untuk taharah wajib, baik itu untuk mengangkat hadas seperti air bekas wudhu basuhan pertama, air bekas mandi junub, atau air bekas mencuci najis pada badan atau baju. (Al-Khulashah Al-Fiqhiyyah ‘ala Madzhabi As-Saadati Asy Syafi’iyyah, hlm. 19)

Dari definisi di atas, kita ketahui bahwa air musta’mal hanya ada pada air yang sedikit dan tidak ada pada air yang banyak. Jika air musta’mal digabungkan satu sama lain sehingga mencapai dua kulah, maka menjadi air yang suci dan mensucikan. (Fathul Mu’in, hlm. 19)

Air Musta’mal Bekas Mengangkat Hadas

Air musta’mal dari bekas mengangkat hadas mencakup:

  1. Air bekas wudhu anak kecil yang sudah tamyiz atau belum tamyiz yang diwudhukan oleh orang tuanya atau walinya untuk melaksanakan ibadah thawaf, karena syarat sah thawaf anak kecil adalah suci.
  2. Air bekas bersuci orang yang selalu hadas, seperti selalu keluar air kencing atau wanita istihadhah.
  3. Air bekas digunakan memandikan jenazah.
  4. Air bekas mandi junub perempuan ahli kitab, ketika dia suci dari haid dan nifas agar suaminya yang muslim halal melakukan hubungan suami istri dengannya.
  5. Air bekas mandi junub perempuan yang gila, ketika dia suci dari haid atau nifas agar suaminya halal melakukan hubungan suami istri dengannya.

(Al-Manhaj Al-Qowim, hlm. 34 dan Hayisah Asy-Syarqawi 1/34)

Syarat-syarat Air Musta’mal

Air yang sudah digunakan untuk taharah mengangkat hadas seperti wudhu dan mandi junub, dihukumi sebagai air musta’mal sehingga tidak sah digunakan untuk taharah jika terpenuhi empat syarat berikut:

  1. Air tersebut sedikit, yaitu kurang dari dua kulah.
  2. Air tersebut telah digunakan untuk taharah yang wajib seperti basuhan pertama wudhu dan mandi junub.
  3. Air tersebut sudah berpisah dari anggota taharah. Dengan demikian, jika air tersebut masih berada atau masih menempel atau bolak-balik di anggota taharah (pada tubuh), maka belum disebut air musta’mal.
  4. Orang yang melakukan taharah tidak berniat ightiraf. Jika dia sudah berniat ightiraf, maka air sisa taharah tidak menjadi musta’mal. Tentang apa itu niat ightiraf, insya Allah kita akan pelajari setelah ini.

Masalah Niat Ightiraf

Tentang niat ightiraf ketika taharah, agar mudah dipahami, dapat diilustrasikan sebagai berikut: 

Ada seorang yang berwudhu dengan menggunakan air yang kurang dari dua kulah. Dia berwudhu dengan cara menciduk air dari wadah dengan menggunakan tangannya (bukan berwudhu dengan menggunakan kran). Dia mulai berwudhu dengan mengerjakan sunah-sunah wudhu seperti membaca basmalah, membasuh kedua telapak tangan, berkumur-kumur, dan memasukkan air ke dalam hidung secara bersamaan. 

Setelah itu dia mulai membasuh wajah. Setelah membasuh wajahnya, dia ingin membasuh tangannya. Sebelum memasukkan tangannya ke dalam wadah, maka dia diharuskan berniat “ightiraf” (yaitu niat menciduk air, dia jadikan tangannya sebagai alat untuk menciduk air), ini agar air dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Hal ini dilakukan karena setelah dia selesai membasuh wajahnya, urutan berikutnya adalah dia membasuh tangannya, ketika dia memasukkan tangannya ke dalam wadah maka berarti sebenarnya dia telah melakukan basuhan wajib pada tangannya (yaitu basuhan pertama), sehingga air yang ada di wadah menjadi musta’mal walaupun dia tidak meniatkan apapun saat memasukkan tangannya. 

Berbeda halnya jika dia meniatkan untuk menciduk maka air tidak berubah menjadi musta’mal.

Perkara ini merupakan perkara yang rumit bagi orang awam sehingga tidak perlu memberatkannya dan bisa memilih pendapat Imam Al-Ghazali yang diikuti oleh Bamakhramah rahimahumullah yang menyatakan tidak wajib niat ightiraf (lihat At-taqrirat As Sadidah 1/59-60 dan Al-Manhal Al-Warif, hlm. 87)

Dari penjelasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa air bekas basuhan kedua dan ketiga pada wudhu dan mandi junub tidak termasuk air musta’mal karena bukan taharah wajib namun hanya sunah saja. Demikian pula air bekas memperbarui wudhu dan bekas mandi untuk shalat Jum’at tidak tergolong musta’mal karena keduanya hukumnya tidak wajib.

Air Musta’mal Bekas Mensucikan Benda yang Terkena Najis

Adapun air yang telah digunakan untuk mensucikan benda yang terkena najis, dihukumi sebagai air musta’mal yaitu suci namun tidak mensucikan jika terpenuhi syarat-syarat berikut:

  1. Air tersebut sedikit, yaitu kurang dari dua kulah.
  2. Air mendatangi najis, seperti misalnya kain yang terkena najis dicuci dengan cara diguyur air. Berbeda halnya jika najis mendatangi air, maka air langsung menjadi najis walaupun tidak ada perubahan pada air karena air sedikit dihukumi najis ketika kemasukan benda najis meskipun tidak mengalami perubahan. Contohnya kain yang terkena najis dimasukkan ke dalam wadah berisi air kurang dari dua kulah.
  3. Tidak berubah salah satu dari tiga sifat air; rasanya, warnanya, dan baunya.
  4. Berat air tidak bertambah setelah dikurangi kadar air yang diserap oleh benda najis yang disucikan.
  5. Benda yang disucikan (yang terkena najis) berubah menjadi suci.

Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka air menjadi najis dan bukan musta’mal.

Hukum Menggunakan Air Musta’mal

Air musta’mal tidak bisa digunakan untuk taharah meskipun zatnya suci. Ini merupakan pendapat Imam Syafi’i yang juga merupakan pendapat Imam Malik, Ahmad, Laits, Al-’Auza’i dan pendapat yang masyhur dari Imam Abu Hanifah. (Al-Bayan 1/43)

Fuqaha’ Syafi’iyyah berbeda pendapat mengenai illat (sebab) larangan penggunaan air musta’mal untuk taharah. Pendapat yang lebih kuat dalam madzhab ialah karena air musta’mal bukan lagi tergolong air mutlak. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam An-Nawawi sebagaimana di kitabnya At-Tahqiq dan selainnya. Pendapat lain mengatakan bahwa air musta’mal masih tergolong air mutlak, sedangkan larangan penggunaannya adalah ta’abudi (semata-mata penghambaan). Pendapat kedua ini dipilih oleh Ar-Rafi’i. (Al-Iqna’ fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, hlm. 46 )

Dalil Bahwa Air Musta’mal itu Suci Namun Tidak Mensucikan

Dalil yang menjadi dasar bahwa air musta’mal itu zatnya suci adalah hadis Jabir radhiallahu ‘anhu,

جَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَيَّ مِنْ وَضُوئِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku saat aku sedang sakit sampai tidak sadarkan diri, kemudian beliau berwudhu dan mengguyurkan air bekas wudhu beliau padaku.” (HR. Bukhari no. 194 dan Muslim no. 1616)

Seandainya air musta’mal itu tidak suci, tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengguyurkannya pada Jabir radhiallahu ‘anhu. (At-Tadzhib, hlm. 10 ; Al-Fiqhu Al-Manhaji 1/33)

Adapun dalil bahwa air musta’mal itu tidak bisa mensucikan antara lain hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

عن أبي هُرَيرةَ رضي الله عنه، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي المَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ فَقَالَ: كَيْفَ يَفْعَلُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: يَتَنَاوَلُهُ تَنَاوُلاً. رواه مسلم

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah salah seorang dari kalian mandi  dalam air yang menggenang dalam keadaan dia junub’. Dia (yaitu perawi) bertanya, ‘Wahai Abu Hurairah, lantas bagaimana caranya?’, Abu Hurairah menjawab, ‘Dengan cara mengambilnya.’” (HR. Muslim 283)

Hadis di atas memberi faedah bahwa mandi di air menyebabkan status air berubah menjadi tidak bisa mensucikan lagi. Karena jika tidak demikian, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Air di sini yang dimaksudkan adalah air sedikit dan tidak mengalir. Hukum untuk wudhu dalam hal ini sebagaimana hukum mandi karena makna keduanya sama yaitu mengangkat hadas. (At-Tadzhib, hlm. 10 ; Al-Fiqhu Al-Manhaji 1/33 ; Al-Mu’tamad 1/39)

Dalil lain adalah hadis Al-Hakam bin Amr Al-Ghifari,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki berwudhu dari air bekas bersucinya perempuan.” (HR. Abu Dawud no. 82 ; At-Tirmidzi no. 64 dan dikatakan hasan ; Ibnu Majah no. 373 ; An-Nasa’i no. 343)

Sisi pendalilannya, bahwa jika yang dimaksudkan bukan air sisa yang ada dalam wadah, maka berarti yang dimaksudkan adalah air bekas digunakan perempuan untuk bersuci. (Al-Bayan 1/42)

Dalil lain yang menunjukkan bahwa air musta’mal tidak bisa mensucikan adalah perbuatan para sahabat ketika mereka bersafar tidak mengumpulkan bekas air wudhu dan mandi mereka agar bisa digunakan untuk bersuci kembali. 

Dalil lainnya adalah bahwa para salaf berbeda pendapat tentang orang yang mendapati air namun hanya cukup digunakan untuk berwudhu sebagian anggota wudhu saja, apakah digunakan berwudhu dahulu kemudian tayamum ataukah tidak digunakan sama sekali melainkan langsung tayamum? Dalam masalah ini tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan digunakan berwudhu kemudian dikumpulkan bekasnya untuk digunakan lagi berwudhu sebagian anggota wudhu yang lain. Seandainya air musta’mal itu mensucikan, niscaya mereka berpendapat seperti ini. (Al-Majmu’ Syarah Muhadzab 1/206)

Allahu a’lam.

Penulis: Ustadz Agus Waluyo

Leave a Reply