Belajar Fiqih Mazhab Syafi’i: Air Ditinjau dari Tempat Keluarnya (Seri 1)

Macam-macam Air (Bagian 1)

Air merupakan hal penting dalam pembicaraan tentang ibadah dalam agama islam ini. Hal ini karena air adalah salah satu media untuk melakukan thaharah, sedangkan thaharah merupakan salah satu syarat sah ibadah shalat dan ibadah lainnya. Kebanyakan para ulama fikih membahas air di awal kitab-kitab yang mereka tulis. Pada tulisan ini akan kita paparkan sedikit pembahasan tentang air.

Air Ditinjau dari Tempat Keluarnya

Ditinjau dari tempat keluarnya, air terbagi menjadi tujuh. Tiga macam dari langit, yaitu air hujan, air hujan es, dan air salju. Sedangkan empat macam berasal dari bumi, yaitu air laut, air sumur, air sungai, dan air sumber. (At-Taqrirat As-Sadiidah, hlm. 57)

Tujuh jenis air ini sah digunakan untuk bersuci selama masih dalam keadaan aslinya karena termasuk kategori air mutlak.

Air Ditinjau dari Suci dan Tidaknya

Adapun jika ditinjau dari sisi suci dan tidaknya, air terbagi menjadi tiga bagian

Air Suci dan Menyucikan (Air Mutlak)

  1. Air suci dan menyucikan, yaitu air yang suci zatnya dan bisa menyucikan lainnya (air mutlak). 
  2. Air yang suci tetapi tidak bisa menyucikan.
  3. Air najis.

Jenis pertama, air suci dan menyucikan yang disebut juga dengan air mutlak. Hanya air jenis inilah yang sah digunakan untuk thaharah seperti wudhu, mandi junub, dan bisa digunakan untuk menghilangkan najis. 

Para ulama mendefinisikan air mutlak sebagai air yang turun dari langit atau keluar dari bumi dengan masih tetap sifat-sifat aslinya tanpa ada keterangan tambahan yang wajib disertakan ketika menyebut kata “air”. 

Jika harus menyebut keterangan tambahan setelah kata “air”, maka itu berarti tidak dinamakan air mutlak lagi, misal “air teh” dan “air bunga mawar”. Air teh bukan termasuk air mutlak karena tidak bisa kita sebut air saja namun harus menyertakan keterangan tambahan yaitu kata “teh”, begitu juga dengan air mawar, air perasan tebu, dan yang semisalnya. 

Adapun jika keterangan tambahan tersebut tidak harus disebutkan, maka air tersebut masih tergolong air mutlak. Contohnya air laut, air sumur, air kran, dan yang lainnya. Kita bisa menyebut dengan “air” saja atau menyertakan kata tambahan.

Di antara dalil bahwa air mutlak itu suci dan menyucikan adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata,

قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ ، أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ.

“Seorang arab badui berdiri di dalam masjid lalu kencing kemudian para sahabat segera bertindak (untuk melarangnya), lantas Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada mereka, ‘Biarkanlah ia dan guyurlah air kencing tersebut dengan satu ember air karena sesungguhnya kalian diutus untuk mempermudah, bukan untuk mempersulit.’” (HR. Bukhari, no. 220)

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hanya air mutlak yang sah digunakan untuk bersuci seperti untuk mengangkat hadas dan menghilangkan najis adalah firman Allah ta’ala,

وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاءً طَهُورًا

“Dan Kami telah menurunkan dari langit air sebagai alat untuk bersuci.” (QS. Al-Furqan: 48)

Sisi pendalilannya bahwa seandainya benda cair lain selain air mutlak bisa digunakan untuk bersuci, maka akan hilang makna ayat yang berbicara dalam konteks anugerah dari Allah. 

Allah juga berfirman,

فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

“… lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih.” (QS. Al-Maidah: 6)

Sisi pendalilanya, bahwa hukum asal perintah adalah wajib dan ketika disebutkan kata “air” maka yang dimaksudkan adalah air mutlak. Seandainya ada benda cair lain selain air mutlak yang bisa digunakan untuk bersuci, niscaya tidak perlu diperintahkan untuk melakukan tayammum. (Tuhfatut thullab I/33)

Keterangan yang semisal juga diberikan oleh Al-‘Allamah Muhammad Al-Kurdi ketika menjelaskan pendalilan dari ayat di atas. Beliau mengatakan,

قوله ( فتيمّموا ) أمر تفيد الوجوب، فلو رفع الحدث غير الماء لما وجب التيمم عند فقده، ولأرشدنا الباري إلی اسستعماله فدل ذلك علی حصر رفع الحدث والخبث في الماء

“Lafadz تيمّموا adalah bentuk perintah yang berkonsekuensi  hukum wajib. Seandainya ada sesuatu selain air yang bisa menghilangkan hadas tentu tidak akan diwajibkan tayamum ketika tidak mendapatkan air, dan tentunya Allah akan mengarahkan kita untuk menggunakannya. Hal ini menunjukkan bahwa alat untuk menghilangkan hadas dan najis terbatas dengan air saja.” (Al-Hawasiy Al-Madaniyyah I/41)

Menggunakan Batu untuk Istinja’

Jika dikatakan bahwa hanya air mutlak saja yang bisa menghilangkan najis, lantas bagaimana dengan batu yang sah digunakan untuk istinja’? Batu yang digunakan untuk istinja’ sejatinya hanya meringankan najis saja dan tidak bisa menghilangkan najis secara total.

Al-‘Allamah Muhammad Al-Kurdi mengatakan,

وقد اشترطوا شروطا في جواز الاستنجاء بالحجر لو کان الحجر مزيلا لم يحتج لأکثرها

“Para ulama memberikan banyak syarat agar dibolehkan istinja` dengan batu. Seandainya batu itu bisa menghilangkan najis secara total, niscaya tidak diperlukan syarat yang begitu banyak.” (Al-Hawasiy Al-Madaniyyah I/42)

Air Mutlak dari Sisi Hukumnya

Ditinjau dari sisi hukumnya, air mutlak dibagi menjadi dua macam:

  1. Air suci dan menyucikan tidak makruh digunakan, seperti air yang telah disebutkan di atas.
  2. Air suci menyucikan namun makruh digunakan, seperti air yang sangat panas, air yang sangat dingin, dan air musyammas  (air yang terkena sinar matahari) dengan syarat-syarat tertentu. (Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, hlm. 54)

Air Suci Menyucikan Namun Makruh Digunakan

Air yang sangat panas dan sangat dingin makruh digunakan untuk bersuci dikarenakan bisa menghalangi kesempurnaan wudhu dan bisa membahayakan anggota badan. Adapun air yang panasnya atau dinginnya sedang maka tidak makruh. Hukum makruh ini tidaklah bertentangan dengan perintah untuk berwudhu di saat kondisi tidak disukai seperti saat dingin karena makruh di sini untuk penggunaan air yang sangat dingin dan bukan dingin biasa.

Air Musyammas
Dimakruhkan juga bersuci dengan air musyammas yaitu air yang terkena panas sinar matahari. Tidak ada bedanya apakah air tersebut sedikit atau banyak (dua qullah atau lebih) tertutup ataukah terbuka, tetap dihukumi makruh tetapi jika terbuka (terkena sinar matahari langsung) lebih dimakruhkan dibanding dengan yang tertutup karena dampak yang ditimbulkan dari panas sinar matahari lebih besar. (Quutul Habibil Ghariib, hlm. 18)

Air musyammas ini makruh digunakan karena dikhawatirkan menimbulkan penyakit sopak/vitiligo (belang pada kulit) pada badan manusia. Tidak ada bedanya apakah digunakan di luar badan atau dalam badan semisal untuk minum. Adapun jika digunakan untuk mencuci pakaian maka tidak makruh dengan syarat dipakai setelah kering, tidak langsung dipakai setelah dicuci.

Penggunaan air musyammas dihukumi makruh jika terpenuhi syarat-syarat berikut:

1. Wadah terbuat dari logam, seperti besi dan tembaga. Dikecualikan emas dan perak maka tidak makruh dikarenakan kemurnian bahan emas dan perak sehingga tidak melepas partikel ketika terkena panas matahari walaupun hukumnya haram dari sisi penggunaan wadah yang terbuat dari emas dan perak. Wadah yang terbuat dari logam yang menjadi tempat penampungan air yang terkena panas matahari akan mengeluarkan partikel berbau busuk yang naik ke permukaan air. Partikel inilah yang jika mengenai badan bisa menyebabkan penyakit sopak/vitiligo. Jika wadah air musyammas terbuat dari bahan selain logam, seperti plastik, batu bata, dan yang lainnya maka tidak makruh digunakan.

2. Di daerah yang sangat panas, seperti Hijaz dan Hadramaut, bukan daerah yang panasnya sedang seperti Mesir dan bukan pula daerah yang dingin seperti Syam.

3. Digunakan pada saat panas. Jika air musyammas telah berubah menjadi dingin maka tidak makruh digunakan.

4. Digunakan pada badan, bukan pada selainnya.

5. Masih ada air lain yang bisa digunakan untuk bersuci. Jika tidak ada air kecuali air musyammas maka wajib menggunakan air musyammas untuk bersuci dan wajib membelinya jika harus membeli. (Al-Minhaj Al-Qawim, hlm. 33)

Jika tidak terpenuhi satu atau lebih syarat-syarat di atas, maka tidak makruh menggunakan air musyammas.

Dalil makruhnya menggunakan air musyammas

Di antara dalil yang menjadi dasar makruhnya menggunakan air musyammas antara lain:

1. Dalil umum tentang perintah meninggalkan perkara yang meragukan. Penggunaan air musyammas termasuk suatu yang meragukan karena bisa menyebabkan penyakit sopak menurut persangkaan yang kuat. (Ibid)

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ  

“Tinggalkan sesuatu yang meragukan dan beralihlah pada sesuatu yang tidak meragukan.” (HR. An Nasa’i, no. 5711)

2. Dalil khusus atsar Umar bin Al-Khatab radhiallahu ‘anhu.

Imam Asy Syafi’i meriwayatkan dalam kitabnya Al-Umm,

أنّ عمر کان يکره الاغتسال بالماء المشمّس وقال إنّه يورث البرص

“Umar tidak menyukai mandi menggunakan air musyammas, beliau berkata, air musyammas bisa menyebabkan penyakit sopak (vitiligo).” (Al-Umm I/7)

Demikian juga Ad-Daaruquthni meriwayatkan dalam sunannya dari jalur Ismail bin Ayyas:

قال عمر بن الخطّاب : لا تغتسلوا بالماء المشمّس فإنّه يورث البرص

“Umar bin Khathab berkata, ‘Janganlah kalian mandi dengan air musyammas, karena bisa menyebabkan penyakit sopak (vitiligo).’” (Sunan Ad-Daaruquthni I/52)

3. Perkataan seorang pakar kedokteran, yaitu Ibnu Nafis.

Ibnu Nafis menyatakan bahwa air musyammas dengan syarat-syarat tertentu bisa menyebabkan penyakit sopak (vitiligo). (Al-Hawasi Al-Madaniyyah I/54)


Dengan adanya dalil dari atsar Umar radhiallahu ‘anhu dan keterangan dari pakar kedokteran maka penggunaan air musyammas pada badan hukumnya makruh dari sisi syariat dan medis. Dampak dari hukum makruh dari sisi syar’i adalah diberi pahala jika ditinggalkan, berbeda jika hanya makruh dari sisi medis saja maka tidak berpahala jika meniggalkannya karena hanya masuk kategori arahan saja. Adapun An-Nawawi berpendapat tidak makruhnya penggunaan air musyammas kecuali hanya dari sisi medis saja dengan syarat terbukti secara medis.

Demikian, semoga bermanfaat. Allahu a’lam.

Penulis: Ustadz Agus Waluyo

Leave a Reply